Thursday, January 22, 2009

WIJI THUKUL: Peluru Yag Hilang Dalam Euforia Reformasi

HANYA ADA SATU KATA, LAWAN!
Kalimat terasa tdk asing ditelinga. Dulu, saat demonstrasi bergemuruh di era 98, yel-yel ini sering diteriakkan. Bahkan sebuah band punk bandung, JERUJI, hingga membuat lagu utk mengabadikannya. Namun, dari mana asal kalimat ini tercipta, hanya segelintir orang yg tau. Mengapa kalimat tersebut dijadikan ruh dalam aksi-aksi yg berkembang saat itu, memang tdk luput dari asal kalimat itu tercipta.

Wiji Thukul, adalah seorang penyair yg mungkin jarang orang mengenalnya. Puisi-puisinya memang sulit didokumentasikan, karena lebih banyak berserakan dalam media-media perlawanan yg pada jaman orba dianggap subversif. Dianggap subversif, karena puisi-puisinya adalah hasil pergulatan hati nuraninya terhadap kekerasan yg dilakukan oleh negara. Tumbuh dan berkembang dalam keluarga tukang becak, telah membentuk pribadi yg sehari-harinya menikmati kemiskinan dan ketidak adilan. Terdorong oleh keadaan, maka ia pun terlibat pada banyak aksi turun ke jalan menuntut hak petani dan buruh bersama para petani, para buruh, mahasiswa dan kalangan muda yg kritis. Tercatat ia ikut serta dalam aksi protes pencemaran lingkunganyg diakibatkan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli, lalu aksi perjuangan petani di Ngawi. Bahkan ia memimpin aksi pemogokan buruh di PT Sritrex.

Dunia pun mengakui sepak terjangnya dg memberikan penghargaan Wertheim Encourage Award di th 1991 & Yap Thiam Hien di th 2002. Wiji Thukul, bersama dg WS Rendra adalah penerima pertama Yayasan Wertheim yg didirikan utk menghormati sosiolog & ilmuwan Belanda WE Wertheim. Sedang penghargaan Yap Thiam Hien di berikan atas jasanya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Akibat aktivitasnya yg dianggap membahayakan kestabilan politik negara, terutama semenjak peristiwa 27 Juli 1996 dimana kantor DPP PDI diserbu, keberadaan Wiji Thukul lenyap. Ia menjadi korban penculikan aktivis yg pada saat itu marak dilakukan oleh negara. Hingga saat ini tak ada satupun yg mengetahui keberadaannya maupun riwayatnya...

Beruntung saya mendapatkan buku kumpulan puisi-puisi yg diberi judul AKU INGIN JADI PELURU, yg diterbitkan Indonesiatera. Ironisnya, pengantar buku puisi ini ditulis oleh Munir SH yg pada akhirnya lagi-lagi menjadi korban negara demi sebuah kestabilan politik penguasa!


PERINGATAN

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

1 comment:

andreas iswinarto said...

Wiji Thukul, Tonggak Diaspora Sastra Indonesia


Bila Rahman (Pemred Horizon) mengatakan sejak tahun 2000-an sastra mengalami perluasan pembaca, maka saya ingin meletakkan itu jauh lebih dini sebelum tumbangnya Soeharto. Saya meletakkannya pada sosok bernama Wiji Thukul penyair kerakyatan (dan juga barisan seniman ‘underdog’, ‘tak bernama’ di pelosok-pelosok negeri ), yang puisinya merentang dari tahun 1987 hingga 1997 sebagai tonggak atau peletak batu penjuru demokratisasi sastra (keseniaan), diaspora sastra.

Silah kiunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/04/wiji-thukul-tonggak-diaspora-sastra.html